Breaking News

1 0

Opini, YPCU News – Surat Edaran Dirjen Dikti tentang Larangan Rangkap Jabatan Organ Yayasan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, selain tidak sinkron dengan keputusan Dirjen Dikti juga membuka konflik di yayasan PTS.

Kebijakan publik memang dibutuhkan untuk menata atau mengatur problem sosial yang berpotensi konflik, tetapi kebijakan publik yang diambil hanya berdasarkan sedikit informasi justru berpotensi menimbulkan kegaduhan. Alih-alih kebijakan tersebut memadamkan kegaduhan, yang terjadi menimbulkan masalah baru yang lebih rumit.

Sebagai contoh, Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti Kemendikbudristek Nomor 3 Tahun 2021 tentang Larangan Rangkap Jabatan Organ Yayasan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Surat edaran tersebut telah banyak menimbulkan kegaduhan di kalangan perguruan tinggi swasta (PTS), sampai-sampai Asosiasi Badan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Seluruh Indonesia (ABPTSI) mengeluarkan surat edaran juga, yaitu Nomor 062/ABPTSI/IX/2021 yang menyatakan selama belum terbit Permendikbudristek, semua pihak sepakat untuk tidak melakukan perubahan/rekonstruksi apa pun, baik oleh Kemendikbudristek, badan penyelenggara (yayasan), maupun pimpinan PTS.

Masalahnya tidak semua pihak mengetahui surat ABPTSI. Jika pun tahu mereka menganggap bahwa produk kebijakan Dirjen Dikti dianggap lebih tinggi, lebih kuat untuk dijadikan acuan. Menurut Pusat Kajian dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, fungsi faktual surat edaran untuk menangani suatu problem belum maksimal. Surat edaran sesungguhnya belum diakui dalam hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan.

Mengapa Dikti lebih memilih surat edaran ketimbang mengeluarkan peraturan menteri atau keputusan Dirjen Dikti? Apakah surat edaran itu dimaksudkan untuk ”mengukur ombak” di bawah (reaksinya). Apabila banyak penolakan barulah diakomodasi dalam surat keputusan atau pun peraturan Mendikbudristek.

Secara sosiologis hal seperti itu dapat diterima, tetapi ibarat menggoreng kacang, apabila terlalu lama bisa gosong. Kegaduhan yang menyeruak di bawah apabila dibiarkan terlalu lama bisa merembet ke persoalan-persoalan politis internal dan bahkan bisa merembet ke persoalan perdata dan pidana ke pihak yang berwajib.

Salah satu persoalan yang muncul tentang rangkap jabatan antara organ yayasan (pembina, pengawas, dan pengurus) dengan pimpinan PTS (seperti rektor, pembantu rektor, dan dekan fakultas) dapat dipahami alasannya dan dapat diterima dengan baik.

Rangkap jabatan itu dimungkinkan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) sehingga kontrol organisasi tidak berjalan dengan baik. Apabila Ketua (pembina, pengawas, dan pengurus) merangkap sebagai rektor misalnya, maka akan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan oleh rektor. Rektor merupakan jabatan strategis di PTS karena membawahkan sumber daya manusia yang banyak.

Apabila salah seorang organ yayasan memiliki keinginan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi di yayasan,  ia bisa menggunakan organ PTS (misalnya dekan dan senat universitas) untuk mendapatkan dukungan dalam mencapai tujuannya. Dekan dan senat universitas bisa dikooptasi untuk menekan yayasan sebagai pressure group.

Kegaduhan menyeruak melalui komunikasi, baik dalam rapat-rapat maupun perang dukungan di media sosial seperti Whatsapp Group (WAG). Suasana menjadi tidak kondusif, saling dukung mendukung, saling curiga, dan tidak ada saling percaya. Demikianlah kebijakan yang diambil hanya berdasarkan masukan sedikit orang tanpa verifikasi di lapangan berpotensi menciptakan kegaduhan.

Yayasan sebagai badan penyelenggara PTS idealnya merupakan hasil kebaikan budi orang-orang kaya yang kelebihan uang. Mereka menyisihkan kekayaannya untuk mendirikan yayasan dan kemudian mendirikan perguruan tinggi atau kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian organ yayasan tidak lagi memiliki niat untuk mendulang keuntungan kapital dari kegiatan sosialnya. Itu sebabnya yayasan kerap disebut sebut sebagai organisasi nirlaba.

Namun, dalam realitasnya badan penyelenggara PT itu kerap berangkat dari idealisasi orang-orang perguruan tinggi atau praktisi pendidikan yang ingin membuka pendidikan tertentu dengan visi yang khas.

Namun, dalam realitasnya badan penyelenggara PT itu kerap berangkat dari idealisasi orang-orang perguruan tinggi atau praktisi pendidikan yang ingin membuka pendidikan tertentu dengan visi yang khas. Penulis ambil contoh sepak terjang Prof Dr M Nuh yang pernah menjadi Rektor ITS dan Mendikbud di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau mendirikan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) dengan menggunakan kendaraan Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya.

Itu salah satu contoh saja bahwa dosen menjadi pionir dalam pendirian PTS. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba SE Dirjen Dikti Nomor 3 Tahun 2021 melarang rangkap jabatan antara organ yayasan dan dosen. Artinya, pengelola yayasan tidak boleh merangkap sebagai dosen di PT yang didirikannya.

Sepintas kebijakan ini bagus, tetapi mereduksi ilmu yang dimiliki. Ini sama dengan membuat lahan tidur di mana-mana. Ilmunya Prof M Nuh menjadi mubazir karena tidak boleh mengajar. Dalam perjalanan selanjutnya, yayasan lebih nyaman merekrut personel yang berasal dari kalangan dosen sebab mereka dianggap telah mengetahui, memahami, dan berpengalaman dalam liku-liku manajemen PT. Apabila kemudian SE Dirjen Dikti No 3 /2021 ini melarangnya, menjadi dilema bagi yang bersangkutan termasuk Prof M Nuh.

Kegaduhan hukum dan konflik

Dari segi hukum, SE Dirjen Dikti tersebut telah makan korban. Ada gugatan dari internal yayasan yang menggugat persoalan rangkap jabatan (yayasan dan dosen) sebagai perbuatan melawan hukum. Gugatan tersebut tercatat di Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 894/Pdt.G/2021/PM Sby.

Dalam gugatan tersebut, penggugat menyatakan bahwa tergugat (organ yayasan) telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, akta notaris yang dikeluarkan cacat hukum, tidak sah dan batal demi hukum. Gugatan ini menyebar di akar rumput karena dapat dengan mudah diakses melalui internet. Dapat dibayangkan kegaduhan yang terjadi di bawah. Apalagi, dalam tuntutannya ”memerintahkan penggugat bersama-sama pengurus dan pengawas yayasan untuk mengangkat unsur pembina”.

Ada banyak bukti konflik di dalam yayasan mengakibatkan kinerja menurun.

Dalam konflik antara yayasan dengan unsur lembaga yang dibinanya itu tidak segan-segan penggugat menggunakan alumni atau entitas lainnya menjadi massa penekan. Ada banyak bukti konflik di dalam yayasan mengakibatkan kinerja menurun. Bahkan, di Surabaya ada perguruan tinggi yang ditutup sampai manajemen yayasan dialihkan ke pihak lain. Jual beli aset yayasan sudah dibidik oleh Polda Jatim, cuma belum merata. Ada yang dipidanakan, tetapi ada yang dibiarkan lenggang kangkung.

Dari sini potensi kegaduhannya merembet dari hukum menjadi politis. Apabila gugatan tersebut dikabulkan, dapat dipastikan akan muncul dua yayasan versi tergugat dan penggugat. Mungkin efek seperti ini tidak dibayangkan oleh Dirjen Dikti ketika menandatangani SE tersebut. Namun, munculnya gugatan untuk mendelegitimasi yayasan itu dapat menjadi renungan petinggi Direktorat Pendidikan Tinggi agar mengevaluasi kembali SE yang sudah telanjur menjadi ”pandemi”.

Larangan rangkap jabatan organ yayasan dengan dosen tidak sinkron dengan Keputusan Dirjen Dikti Nomor 12/E/KPT/2021 tentang Pedoman Operasional BKD (Beban Kerja Dosen). Dalam metrik BKD, dosen dibagi dua, yaitu dosen biasa (DS) dan dosen dengan tugas tambahan (DT). Yang dimaksud tugas tambahan adalah dosen yang mendapat tugas di struktural universitas seperti rektor, dekan, sampai kepala program studi.

Tugas tambahan seperti itu dianggap prestasi, karena itu bagi yang mempunyai tugas tambahan kewajiban pengajarnya juga dikurangi boleh tiga SKS saja, masih ditambah pengabdian masyarakatnya dan kegiatan penelitian bisa/boleh kosong. Logikanya dosen yang mendapat tugas tambahan menjadi personel yayasan juga dihargai sebab antara yayasan dan lembaga yang dibinanya masih dalam satu entitas. Bahkan, pejabat rektor dan seterusnya juga diangkat dan diberhentikan oleh yayasan.

Semoga menjadi renungan….

Penulis :

Redi Panuju, Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo Surabaya

Sumber :

https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/29/surat-edaran-dirjen-dikti-dan-kegaduhan-pts

Happy
Happy
50 %
Sad
Sad
50 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »